Mogura Tataki (土竜 叩き)  – Whack-A Mole

Reading Time: 4 minutes

Permainan Mogura Tataki atau Whack-A-Mole sering kita jumpai di acara karnival di mana kita harus dengan cepat memukul tikus-tikus tanah yang bermunculan secara acak.  Secara acak pula kata-kata Mogura Tataki ini muncul beberapa hari yang lalu di saat saya berbincang-bincang tentang strategi untuk hidup bersama Covid-19 dengan kawan saya, pencipta ilmu berbasis konstruksi psikososial, Aitehakadori (相手はかどり – The Other Side), Yuichi Suzuki. 

Beliau sering menemui bahwa banyak klien-kliennya yang condong menggunakan metode Mogura Tataki untuk melenyapkan masalah-masalah yang timbul di perusahaan.  Para atasan-atasan di perusahaan-perusahaan itu seringkali memberikan instruksi yang tidak jelas kepada anak buahnya dengan harapan bahwa solusi yang optimal akan timbul dengan sendirinya.

Akibatnya, banyak para pelaksana yang menggunakan metode Mogura Tataki, untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cepat tapi ceroboh, dan disertai oleh kecemasan. Akibatnya hasilnya tidak optimal dan masalah-masalah itu malah berkembang menjadi virus yang menyebar dengan tak terkendali meracuni kondisi psikososial perusahaan tersebut karena tidak menyelesaikan problemnya dengan tuntas sampai ke akarnya.

Pendekatan Mogura Tataki itu bersifat terlalu sederhana karena sama sekali tidak menggunakan deep thinking dan seringkali dilakukan hanya untuk menghindari tanggung jawab atau menunda solusi sambil membuang waktu. Deep thinking inilah salah satu fitur dari Aitehakadori yang sekarang sangat kita perlukan untuk hidup bersama wabah Covid-19 yang sudah membayangi kita setiap hari.

Jika kita tetap bersikeras menggunakan metode Mogura Tataki, maka kita pasti kehabisan energi karena virus baru di perusahaan bisa saja muncul dengan tiba-tiba yang awalnya kelihatannya tidak membahayakan namun akhirnya mematikan.

Aitehakadori selalu mendorong kita untuk mencari solusi bersama dengan memperhatikan kepentingan pihak yang lain dulu (Aitehakadori) sebelum menekankan kepentingan kita.  Dengan demikian, kita akan mengurangi konflik karena setiap konflik pasti menguras tenaga dan pikiran kita secara dahsyat apalagi situasi seperti COVID-19 ini. Selama kedua belah pihak mempunyai pola pikir dan pendekatan berbasis Aitehakadori, maka awal percakapan akan lebih harmonis dan kondusif untuk co-create solusi baru.

Kita dapat berdialog dengan baik karena masing-masing pihak mau memahami kepentingan masing-masing dari kaca mata pihak yang lain, Aitehakadori, bukan dari diri sendiri, Jibunhakadori. Bukanlah suatu rahasia bahwa suatu solusi untuk kepentingan organisasi harus dijembatani dengan teknik-teknik baru seperti Aitehakadori karena pendekatan yang ada seperti Mogura Tataki sudah tidak efektif lagi.

Selain itu, perilaku-perilaku yang berbau Mogura Tataki harus segera diberhentikan dan diganti dengan aktivitas lainnya yang lebih bersifat deep thinking. Tentunya hal penting ini harus dipahami oleh pimpinan puncak dan harus segera diterapkan disetiap lapisan perusahaan.

Deep thinking memerlukan waktu dan konsentrasi yang tinggi dan setiap orang mempunyai kemampuan untuk itu asalkan dapat berhenti bermain Mogura Tataki. Memulai hari di saat kita bangun tidur dengan langsung aktif masuk group-group WA, Instagram, FB, dan lain-lain, bukannya bermain Mogura Tataki?

Banyak sekali berita-berita random yang bahkan bisa jadi adalah hoax tapi tetap dilayani dan benar-benar menyita waktu kita dipagi hari. Belum lagi jika ada video-video yang bersifat violent yang dapat membuat emosi jiwa kita membara gara-gara kita merasa keadilan harus ditegakkan meskipun itu semua tidak langsung terkait dengan kita.

Kita telah terbuai oleh faktor acak dari Mogura Tataki yang secara tidak sadar sudah membuat kita terpaku pada kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang kebanyakan juga dimiliki oleh banyak orang yang belum mempunyai self-awareness yang tinggi.

Kalau anda masih ragu, ada beberapa kebiasaan Mogura Tataki lagi yang kita lakukan pada saat kita tiba dikantor: Check Email! Di sini pun Mogura Tataki muncul kembali dan membuat kita kalang kabut dan panik dipagi hari.

Satu email saja yang menyakitkan hati kita akan membuat hari kita kurang produktif. Belum lagi email-email yang bersifat agresif dan penulisnya selalu berlindung dibalik email, tidak berani bertatap muka untuk berdiskusi secara terbuka. Disrupsi semacam ini harus kita hindari dan kita harus mulai fokus pada pendekatan Aitehakadori terutama jika kita adalah leader didalam organisasi kita. Setiap tindakan kita yang bersifat Jibunhakadori akan berdampak negatif kedalam organisasi dan diri kita sendiri.

Vibrasi negatif semacam itu yang ada di dalam organisasi sebenarnya dirasakan oleh setiap karyawan namun kebanyakan mereka menunggu solusi dari atas atau bahkan pasrah.  Pasrah jelas bukan suatu strategi terutama dalam kondisi sekarang yang mengharuskan semua orang untuk kreatif dan proaktif.

Kita telah masuk era baru yang saya sebut sebagai “The Era of Co-creation” – zaman untuk menciptakan bersama. Ini saatnya kita menyadari bahwa dengan pemikiran Aitehakadori kita dapat mulai bergerak menuju co-creation. Sistem manajemen kuno “command and control” harus mulai diubah dengan sistim yang lebih modern seperti Agile Management, Appreciative Inquiry yang didukung oleh filosofi Aitehakadori. Ketiga ilmu ini jika diintegrasikan dengan baik akan menghasilkan dampak yang sangat positif untuk perusahaan.

Memang perubahan ini tidak mudah karena perusahaan telah terbiasa membawa palu untuk menundukkan tikus-tikus tanah (moles) yang bermunculan setiap hari dan kadang-kadang bisa bertubi-tubi datangnya. Kebiasaan tradisionil organisasi membuat mereka terpaku pada satu alat saja untuk menghadapi setiap tantangan yang muncul: Palu!  Di dunia consulting, kita selalu mengatakan jika alat yang kita punyai hanya sebuah palu saja maka setiap masalah akan terlihat sebagai sebuah paku yang harus dipalu masuk.

Kita terpaku pada masa lampau kita, yang sebenarnya sudah tidak ada lagi dan hanya berada dibenak kita belaka. Tiba-tiba kita terbangun oleh suasana baru dimana dunia yang baru tidak lagi membutuhkan palu itu lagi. Ternyata kita dipaksa untuk keluar dari bawah tanah seperti moles (tikus-tikus bawah tanah) untuk mulai mencari dan menemukan biji-biji baru yang dapat menghasilkan ide-ide inovatif.

Ide-ide inovatif bisa lebih cepat didapat dengan menjalankan konsep co-creation – perwujudan bersama di mana kita sebagai sebuah organisasi dapat menjelma menjadi trend setters, bukan hanya followers.  Untuk menjadi trend setters kita harus segera bergerak menuju Deep Thinking – (fukai shiko深い思考).

Kita harus segera mengubah arah karena jika tidak kapal kita akan tenggelam atau kandas, didalam lautan kita sendiri. Cara tercepat adalah membuang semua “palu” kita dan awalnya diganti oleh “gunting” (hasami – 鋏).  Setiap kebiasaan lama yang buruk harus kita gunting dan segera kita musnahkan.  Siapkah anda mengasah gunting anda? “Tata, titi, titis, tatas.” (Tertata, teliti, tepat, dan tuntas).

“Akumade jibun no ikken desu ga” – Ini adalah murni pendapat saya.

Sumber: https://geotimes.id/kolom/mogura-tataki-%e5%9c%9f%e7%ab%9c-%e5%8f%a9%e3%81%8d-whack-a-mole/

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi