Tantangan Agility
“Agile” telah menjadi istilah populer dalam dunia bisnis, terutama dalam konteks transformasi organisasi. Sebuah survei yang dilakukan oleh McKinsey pada Oktober 2020 terhadap lebih dari 2.000 perusahaan menemukan bahwa 50% dari perusahaan tersebut belum mengambil langkah apa pun untuk menjadi lebih agile. Di antara setengah lainnya, dua pertiga mengklaim sedang dalam proses transformasi, namun upaya tersebut seringkali hanya berjalan di tempat dengan dampak bisnis yang minim. Hanya 10% dari perusahaan yang tersisa yang berhasil dalam transformasi agile mereka.
Investasi dalam transformasi agile sering kali gagal mencapai hasil yang diharapkan. Tingkat agility dalam suatu organisasi dapat dinilai melalui beberapa faktor, salah satunya adalah Lima Ciri Organisasi Agile dari McKinsey.
Jelas bahwa investasi dalam transformasi agile sering kali tidak mencapai hasil yang diharapkan. Lima Ciri Organisasi Agile yang dikutip dari McKinsey bisa dijadikan untuk bahan evaluasi (lihat gambar di bawah).
Hambatan Kerapuhan (Fragility)
Salah satu hambatan besar menuju agility adalah kerapuhan (fragility). Agility menuntut pertumbuhan dan pembelajaran yang berkelanjutan, termasuk kesediaan untuk menghadapi ketidakpastian. Individu yang agile menyambut perubahan dan siap untuk beradaptasi. Sebaliknya, kerapuhan merusak fleksibilitas dan ketahanan yang diperlukan untuk berkembang dalam lingkungan yang tidak pasti.
Dalam bukunya “Antifragile,” Nassim Taleb mengemukakan bahwa lawan dari kerapuhan bukanlah ketahanan, melainkan kemampuan untuk menjadi lebih kuat di bawah tekanan. Konsep ini, yang disebut “antifragile” atau anti kerapuhan, mengungkapkan pentingnya menghadapi tantangan sebagai jalan menuju pertumbuhan.
Mendorong Agility dan Menumbuhkan Ketahanan
Kerapuhan sering kali muncul di berbagai institusi, termasuk dalam dunia pendidikan, di mana siswa dilindungi dari kegagalan untuk menghindari kekecewaan. Namun, melindungi seseorang dari kesulitan justru menghambat perkembangan ketahanan. Martin Seligman, direktur Positive Psychology Center di University of Pennsylvania, menemukan bahwa banyak orang yang mengalami trauma justru berkembang menjadi lebih kuat, melalui apa yang disebut sebagai post-traumatic growth (pertumbuhan pasca-trauma). Fenomena ini menunjukkan bahwa menghadapi kesulitan dapat membangun ketahanan, yang pada akhirnya mendukung agility.
Sementara banyak organisasi berupaya menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, sering kali menghindari tantangan justru menghambat pertumbuhan. Prinsip anti kerapuhan dan pertumbuhan melalui kesulitan ini juga diakui dalam pelatihan fisik dan olahraga, di mana usaha keras dan rasa sakit dari latihan mendukung kemenangan atletik. Hal yang sama berlaku di tempat kerja—menghindari ketidaknyamanan akan menghambat kemampuan untuk menjadi agile.
Mengembangkan Tim yang Agile
Untuk membangun budaya yang agile, penting bagi setiap individu dan tim untuk belajar menghadapi hal-hal yang tak terduga, serta tantangan yang menuntut ketahanan emosional, fisik, dan mental. Ketidaknyamanan harus dilihat sebagai peluang untuk tumbuh, bukan sesuatu yang harus dihindari. Ketika menghadapi situasi yang menantang, penting untuk merespons dengan konstruktif, melihat tantangan tersebut sebagai peluang untuk berkembang.
Alih-alih memimpin dengan pendekatan mikro-manajemen, peran pemimpin adalah memberikan kebijaksanaan dan mengajarkan cara menghadapi kesulitan, sehingga tim dapat mengembangkan antikerapuhan dan agility. Dengan demikian, upaya untuk membangun budaya kerja yang agile dapat dimulai dari perubahan cara tim berinteraksi dengan tantangan dan ketidaknyamanan.
Konklusi
- Transformasi menuju agility memerlukan perubahan cara pandang terhadap ketidakpastian dan tantangan. Agility bukan hanya soal cepat beradaptasi, tetapi juga tentang kemampuan untuk tumbuh melalui kesulitan dan menjadi lebih kuat di bawah tekanan. Hambatan terbesar menuju agility adalah kerapuhan (fragility), yang muncul ketika individu atau organisasi terlalu terlindungi dari tantangan.
- Membangun budaya kerja yang agile membutuhkan pengembangan ketahanan emosional, fisik, dan mental dalam menghadapi situasi yang sulit. Ketidaknyamanan harus dilihat sebagai bagian penting dari proses pembelajaran, di mana tantangan diubah menjadi peluang untuk pertumbuhan. Pemimpin yang bijaksana bukan hanya mengarahkan, tetapi juga mendidik tim untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan. Dengan demikian, organisasi dapat melahirkan individu dan tim yang siap menghadapi ketidakpastian, fleksibel dalam beradaptasi, dan tangguh dalam menghadapi tekanan, yang pada akhirnya membawa mereka menuju keberhasilan dalam transformasi agile.
Referensi:
- Taleb, N. N., November 27, 2012, Antifragile: Things That Gain From Disorder, Random House, United States.
- Lapin, D., September 11, 2023, Is Your Team Agile or Fragile?, Diakses pada 3 Oktober 2024, dari https://www.linkedin.com/pulse/your-team-agile-fragile-david-lapin/
- Aghina, W., Ahlbäck, K., De Smet, A., Fahrbach, C., Handscomb, C., Lackey, G., Lurie, M., Murarka, M., Salo, O., Seem , E., Woxholth, J., December 2013, The 5 Trademarks of Agile Organizations, Diakses pada 3 Oktober 2024, dari https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/business%20functions/people%20and%20organizational%20performance/our%20insights/the%20five%20trademarks%20of%20agile%20organizations/the-five-trademarks-of-agile-organizations.pdf