Agile vs Fragile: Mengungkap Karakteristik Organisasi Anda – Seri 4

Reading Time: 2 minutes

Dalam dunia pengembangan perangkat lunak, metodologi Agile telah menjadi salah satu pendekatan paling populer untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi tim. Namun, seperti yang diungkapkan oleh pengalaman seorang pemimpin eksekutif organisasi pengujian perangkat lunak (software testing) dengan lebih dari 750 penguji, tidak semua organisasi yang mengklaim menerapkan Agile benar-benar agile dalam praktiknya. Sebaliknya, banyak dari mereka jatuh ke dalam kategori fragile, sebuah istilah yang menggambarkan organisasi yang gagal memahami inti dari prinsip Agile. Artikel ini akan membahas bagaimana membedakan organisasi Agile yang sejati dari yang sekadar mengadopsi Agile secara superfisial.

Kesuksesan Agile: Studi Kasus Lancaster

Salah satu contoh keberhasilan Agile ditemukan di sebuah tim di Lancaster, Pennsylvania. Tim ini mendalami metodologi Agile dengan disiplin yang tinggi. Setiap anggota tim dilatih dalam proses Scrum, dan para pemimpin diwajibkan menjalani rotasi sebagai Scrum Master. Praktik ini menciptakan budaya pembelajaran dan tanggung jawab kolektif yang menghasilkan kinerja luar biasa.

Namun, pengalaman ini tidak universal. Banyak tim lain menghadapi kesulitan dalam pengiriman tepat waktu dan kualitas hasil. Mereka tetap mengadakan daily stand-up, mengadopsi ruang kerja bersama, dan menggunakan istilah-istilah Agile, tetapi hasilnya jauh dari memuaskan. Mengapa demikian? Karena menjadi Agile lebih dari sekadar mengikuti ritual atau menggunakan jargon tertentu.

Ciri-Ciri Organisasi Fragile

Organisasi yang fragile cenderung memilih elemen Agile yang mudah diimplementasikan, sementara di sisi lain mengabaikan prinsip-prinsip mendasar yang lebih menantang. Berikut adalah 15 tanda bahwa organisasi mengalami fragile:

  1. Penolakan dokumentasi dengan alasan Agile tidak membutuhkan dokumentasi.
  2. Pemadatan pekerjaan enam minggu dalam sprint dua minggu.
  3. User Story yang kurang detail.
  4. Tidak adanya tindak lanjut dari retrospektif.
  5. Penggantian pengujian standar dengan demonstrasi fitur.
  6. Pengguna akhir menerima fitur berkualitas rendah dengan janji perbaikan.
  7. Agile Coach tidak memberikan panduan yang memadai.
  8. Burn-down chart lebih mirip burn-out chart.
  9. Tim Agile virtual tanpa koordinasi yang efektif.
  10. Definisi done berdasarkan waktu, bukan perangkat lunak yang berfungsi.
  11. Tim yang mengarahkan diri berubah menjadi kelompok yang mendominasi.
  12. Definisi pengujian secara tidak tepat.
  13. Model pendanaan tradisional Waterfall dipaksakan ke Agile.
  14. Anggota tim tidak fleksibel untuk melampaui deskripsi pekerjaan mereka.
  15. Fokus pada tenggat waktu, bukan kualitas.

Mengapa Agile Bisa Gagal?

Menurut laporan Market Snapshot: Agile Realities oleh Voke Research, hanya 28% organisasi yang menerapkan Agile melaporkan keberhasilan. Masalah utamanya sering kali terletak pada kesalahan interpretasi Agile sebagai pendekatan cepat tanpa mempertimbangkan kualitas. Organisasi fragile mengutamakan “kecepatan pengiriman di atas kualitas hasil,” (speed of the delivery over quality of the delivered) yang berlawanan dengan prinsip Agile sejati.

Tim seperti di Lancaster membuktikan bahwa keberhasilan Agile membutuhkan disiplin, kolaborasi, dan komitmen untuk memberikan nilai kepada pelanggan. Sebaliknya, organisasi fragile kehilangan fokus pada kualitas dan hanya berusaha memenuhi tenggat waktu.

Kesimpulan

Agile adalah tentang kecepatan memberikan nilai, sementara fragile adalah tentang kecepatan tanpa kualitas. Untuk menjadi organisasi Agile sejati, penting untuk memahami dan menerapkan prinsip Agile secara menyeluruh, bukan sekadar memilih elemen yang mudah atau populer. Fokus pada pelanggan, kualitas, dan kolaborasi tim adalah kunci untuk menciptakan organisasi yang benar-benar agile.

Dengan refleksi yang jujur terhadap praktik dan hasil tim, organisasi dapat bergerak dari fragile ke agile dan memastikan bahwa mereka tidak hanya mengejar kecepatan tetapi juga memberikan nilai yang bermakna bagi pelanggan.

Referensi:

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Suparjo
Suparjo
Data Science Enthusiasm, Founder of KEBUN (Kelas Edukasi Berbagi Untuk Negeri), Independent English Teacher.
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi