Menerapkan Agile Dalam Proses Menulis

Reading Time: 4 minutes

Dalam dunia menulis, sering kali kita fokus pada kreativitas dan inspirasi tanpa mempertimbangkan struktur dan proses yang dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas karya kita. Namun, apakah kita bisa menerapkan pendekatan Agile, yang biasanya digunakan dalam pengembangan produk, dalam proses menulis?

Pertanyaan ini sering melintas di pikiran saya, apalagi sebagai seorang kontributor penulis di agilenesia.id. Sekedar informasi saja bahwa Agilenesia adalah media komunitas yang mempublikasikan tulisan kolom dan video mengenai topik dan isu agile, ditulis dan diproduksi oleh para praktisi project management. Mengawali tahun 2022, tepatnya pada 1 Januari 2022, Agilenesia meluncurkan website agilenesia.id. Tulisan yang dimuat diutamakan terkait dengan topik agile, project management, dan inovasi. Namun, juga tetap terbuka untuk memuat topik-topik lain yang dapat membagikan inspirasi positif yang dapat mendorong pembaca untuk menjadi lebih baik.

Suatu waktu pada saat saya sedang membuka LinkedIn tiba-tiba saya meihat postingan dari salah satu connections saya dengan akun Nabila Ghaida Zia yang dalam update postingannya dia  berbincang dengan Hugo Messer, seorang ahli konsultan Agile. Zia mulai bertanya kepada Hugo Messer dengan pertanyaan “Apakah kita bisa menerapkan agile dalam proses menulis? Hugo Messer pun merespon bahwa menerapkan Agile dalam menulis memang sangat bisa dilakukan. Dan mulai dari situlah kemudian  Zia mulai berbagi pengalamannya dalam membimbing seorang mentee untuk menyelesaikan tulisannya yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip seperti OKR, Design Thinking, dan Scrum dapat diadaptasi ke dalam proses menulis.

Terkait dengan OKR, Design Thinking, dan Scrum, mungkin kita sudah tidak asing lagi jika bekerja di industri teknologi. OKR, singkatan dari Objective & Key Result, membantu menetapkan tujuan yang jelas dan mengukur hasilnya. Design Thinking membawa kita melalui tahapan pemikiran yang kreatif dan empatik untuk menghasilkan solusi yang lebih baik. Sementara Scrum memberikan kerangka kerja yang terstruktur untuk mengelola proyek dengan cara yang kolaboratif dan fleksibel.

Dalam postingannya di LinkedIn, Zia pada awalnya merasa penasaran ketika seorang mentee datang kepadanya tanpa mengetahui latar belakang dirinya. Namun, rupanya si mentee itu menemukan profil Nabila Ghaida Zia ketika sedang mencari ghostwriter, dan dari situlah si mentee tertarik untuk belajar menulis sendiri dengan bantuan mentoring. Ambisinya adalah untuk menulis buku tentang perjalanan hidupnya, yang ia ingin selesaikan menjelang ulang tahunnya bulan Desember mendatang.

Dalam proses mentoring, Zia menyadari pentingnya adaptasi terhadap kebutuhan individu. Ada yang membutuhkan bantuan menuliskan kisah hidupnya, sementara yang lain ingin meningkatkan kemampuan menulis blog, konten, atau copy writing. Untuk mentee yang ingin fokus pada penulisan kisah hidupnya, Zia merancang sebuah program intensif yang ia sebut dengan istilah Writing Sprint Mentoring Program.

Sebelum mulai sesi 1-on-1, Zia meminta mentee untuk mengisi tujuan menulisnya dalam Google Sheet, mengacu pada proses empathy map dalam Design Thinking. Selanjutnya, sesuai kesepakatan antara mentor dan mentee masing-masing menyetujui untuk menetapkan OKR bersama dan merencanakan apa yang harus ditulis dalam satu minggu ke depan dalam sebuah pertemuan yang mereka sebut Writing Sprint Planning.

Selama satu minggu, mentee menulis secara mandiri setiap hari, dan hasilnya dikirim kepada Zia selaku mentor untuk di-review, yang selanjutnya disebut dengan istilah Writing Daily Sprint. Di akhir minggu, mereka bertemu kembali untuk mengulas tulisannya.

Ya, kita bisa menerapkan prinsip-prinsip dan praktik Agile dalam proses menulis. Meskipun Agile awalnya dikembangkan untuk pengembangan perangkat lunak, banyak prinsipnya dapat diadaptasi ke berbagai konteks termasuk menulis. Berikut adalah beberapa cara di mana Agile dapat diterapkan dalam menulis:

  1. Kolaborasi Tim. Tim penulis dapat bekerja sama dalam menghasilkan konten. Setiap anggota tim memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri, dan mereka berkolaborasi untuk mencapai tujuan akhir.
  2. Sprint atau Iteras. Menetapkan periode waktu yang singkat untuk menyelesaikan bagian tertentu dari proyek menulis, seperti satu bab atau bagian tertentu dari artikel. Pada akhir setiap sprint, hasilnya diuji dan dievaluasi.
  3. Prioritasi. Mengidentifikasi dan menetapkan prioritas pada bagian-bagian yang paling penting atau yang paling membutuhkan perhatian dalam proyek menulis. Ini memungkinkan penulis untuk fokus pada hal-hal yang paling krusial terlebih dahulu.
  4. Feedback dan Revisi Berulang. Mendapatkan umpan balik secara teratur dari pembaca atau anggota tim, dan kemudian menggunakan umpan balik tersebut untuk melakukan revisi. Ini memungkinkan penulis untuk terus meningkatkan kualitas kontennya seiring waktu.
  5. Adaptasi Terhadap Perubahan. Menyadari bahwa rencana awal mungkin perlu disesuaikan seiring berjalannya waktu atau sebagai tanggapan terhadap umpan balik yang diterima. Fleksibilitas adalah kunci dalam menerapkan Agile.
  6. Peningkatan Kontinu. Memprioritaskan pembelajaran dan peningkatan melalui siklus berulang. Penulis selalu mencari cara untuk meningkatkan keterampilan menulis mereka dan hasil akhir proyek mereka.
  7. Komitmen terhadap Kualitas. Menekankan pada kualitas konten dan memberikan perhatian khusus terhadap detail-detail penting. Memastikan bahwa setiap bagian tulisan memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan.

Meskipun menerapkan Agile dalam menulis memerlukan penyesuaian terhadap konteks yang berbeda dari pengembangan perangkat lunak, prinsip-prinsipnya dapat menjadi landasan yang kuat untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, dan kepuasan dalam proses menulis.

Saat bicara mengenai perasaan apa yang Zia rasakan saat melakukan aktivitas mentoring dalam proses menulis dengan menerapkan agile, dia menyatakan bahwa dia merasa sangat puas. “Bukan hanya menulis, tetapi juga berbagi pengetahuan serta membantu orang lain untuk mengembangkan potensi mereka adalah hal yang memberi makna dalam hidup saya.” Pungkas Zia.

Konklusi

  • Menerapkan pendekatan Agile dalam menulis membawa manfaat besar, meskipun metode ini awalnya dikembangkan untuk pengembangan perangkat lunak. 
  • Dengan kolaborasi tim, sprint atau iterasi singkat, prioritas yang jelas, umpan balik berulang, adaptasi terhadap perubahan, peningkatan kontinu, dan komitmen terhadap kualitas, proses menulis dapat menjadi lebih efisien dan berkualitas. 
  • Melalui pengalaman Nabila Ghaida Zia dalam membimbing mentee, kita melihat bagaimana prinsip-prinsip Agile seperti OKR, Design Thinking, dan Scrum dapat diadaptasi ke dalam menulis. 
  • Pentingnya adaptasi terhadap kebutuhan individu dan kepuasan dalam berbagi pengetahuan juga ditekankan. Dengan demikian, menerapkan Agile dalam menulis bukan hanya tentang meningkatkan hasil akhir, tetapi juga tentang membangun komunitas yang saling mendukung dan menginspirasi.

Referensi

  1. Zia, N. G. (2024, April). Pernahkah kamu menerapkan OKR, Design Thinking, dan Scrum dalam proses menulis? [Pos LinkedIn]. Diakses dari https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:7187446516800806912/ 
  2. Agilenesia, Tentang Kami. Diakses dari https://agilenesia.id/tentang/ 
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Suparjo
Suparjo
Data Science Enthusiasm, Founder of KEBUN (Kelas Edukasi Berbagi Untuk Negeri), Independent English Teacher.
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi