Agile vs. Fragile: Kunci Keberhasilan Kolaborasi dalam Proyek – Seri 8

Reading Time: 2 minutes

Dalam dunia pengembangan perangkat lunak dan manajemen proyek, metode Agile telah menjadi standar yang banyak diterapkan untuk meningkatkan efektivitas tim dan keberhasilan proyek. Namun, sering kali ada kesalahpahaman dalam implementasinya yang justru mengarah pada apa yang disebut sebagai “Fragile”—sebuah kondisi di mana tim tampak menggunakan metode Agile, tetapi tanpa prinsip dasar yang benar. Artikel ini akan membahas perbedaan mendasar antara Agile dan Fragile serta bagaimana kolaborasi aktif menjadi faktor kunci dalam menentukan keberhasilan proyek.

Prinsip Agile: Kolaborasi yang Aktif

Salah satu prinsip utama dalam Agile adalah kolaborasi yang erat antara tim pengembang dan pemangku kepentingan bisnis. Prinsip Agile keempat menekankan bahwa interaksi ini harus terjadi setiap hari, bukan sekadar pembaruan mingguan atau di awal dan akhir sprint. Ketika pemangku kepentingan bisnis terlibat secara aktif dalam proyek, peluang keberhasilan akan jauh lebih besar.

Dalam lingkungan Agile yang ideal:

  • Sumber daya bisnis dan TI bekerja dalam lokasi yang sama dengan interaksi yang konstan.
  • Tim melihat produk akhir sebagai hasil kerja bersama, bukan hanya tanggung jawab pengembang.
  • Masalah yang muncul selama sprint segera diselesaikan dengan melibatkan pemangku kepentingan.
  • Kerja sama sehari-hari memungkinkan pemangku kepentingan memahami solusi secara lebih mendalam dan meningkatkan tingkat adopsi produk.

Sayangnya, survei Voke menunjukkan bahwa 59% proyek Agile berjalan tanpa keterlibatan bisnis yang memadai. Ini berarti bahwa dalam hampir 60% proyek, pengembang dipaksa untuk mengambil keputusan sendiri atau menjalankan proyek tanpa arahan yang jelas. Akibatnya, solusi yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Fragile: Agile yang Gagal

Sebaliknya, Fragile adalah kondisi di mana tim tampak menerapkan Agile tetapi tidak mengadopsi prinsip dasarnya dengan benar. Salah satu ciri khas tim Fragile adalah mereka hanya mengadakan pertemuan singkat setiap hari, kemudian kembali bekerja secara terisolasi tanpa komunikasi yang efektif.

Dalam tim Fragile:

  • Tim mengadakan rapat singkat, tetapi setelah itu bekerja sendiri-sendiri tanpa interaksi lebih lanjut.
  • Pengembang mengambil semua keputusan karena mereka merasa lebih tahu daripada pemangku kepentingan bisnis.
  • Masalah yang muncul hanya dimasukkan ke backlog tanpa penyelesaian segera karena dianggap mengganggu alur pengiriman.
  • Pemangku kepentingan hanya muncul pada saat-saat kritis dan sering kali mengubah arah proyek secara tiba-tiba.

Salah satu fenomena menarik dalam tim Fragile adalah “sendirian di tengah keramaian.” Anggota tim mungkin bekerja di ruangan yang sama, tetapi mereka tetap terisolasi dengan memakai headset dan menghindari interaksi. Mereka mengandalkan email sebagai alat komunikasi utama, yang semakin menghambat kolaborasi.

Kesimpulan

Agile bukan sekadar metode kerja, tetapi sebuah budaya yang menekankan kolaborasi, komunikasi, dan keterlibatan aktif dari semua pihak yang terlibat dalam proyek. Hanya dengan menerapkan prinsip Agile yang sebenarnya—bukan hanya tampak Agile di permukaan—sebuah tim dapat mencapai hasil yang optimal. Jika sebuah tim hanya berfokus pada proses tanpa memperhatikan nilai-nilai inti Agile, maka mereka lebih dekat ke arah Fragile daripada Agile yang sebenarnya.

Oleh karena itu, keberhasilan proyek tidak hanya bergantung pada adopsi metode Agile, tetapi juga pada bagaimana semua pihak berpartisipasi secara aktif. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keterlibatan dan komunikasi terbuka, tim dapat menghindari jebakan Fragile dan benar-benar menuai manfaat dari Agile.

Referensi

  1. Admin. (18 Februari 2013). Agile vs Fragile: Success Requires Participation. Diakses dari https://www.northwaysolutions.com/agile-vs-fragile-success-requires-participation/
  2. Cunningham, W. (2001). Manifesto for Agile Software Development. Diakses dari https://agilemanifesto.org/
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Suparjo
Suparjo
Data Science Enthusiasm, Founder of KEBUN (Kelas Edukasi Berbagi Untuk Negeri), Independent English Teacher.
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi