Agile vs Fragile: Tinjauan Retrospektif ke Depan – Seri 15

Reading Time: 3 minutes

Dalam dunia pengembangan perangkat lunak dan manajemen proyek, metodologi Agile telah menjadi pilihan utama bagi banyak tim yang berusaha untuk lebih efisien dan responsif terhadap perubahan. Agile bukan hanya sekadar metode kerja, melainkan juga filosofi yang menekankan kolaborasi, fleksibilitas, dan iterasi cepat. Salah satu prinsip dasar dalam Agile adalah retrospektif, yang memungkinkan tim untuk secara berkala merenungkan kinerja mereka, mengevaluasi apa yang berhasil, dan membuat perbaikan yang diperlukan untuk sprint berikutnya. Namun, meskipun retrospektif ini begitu penting, banyak tim yang gagal memanfaatkannya dengan baik, berujung pada kondisi yang lebih rapuh (fragile) daripada Agile sejati.

Pentingnya Retrospektif dalam Agile

Prinsip Agile terakhir yang ditekankan dalam metodologi ini adalah retrospektif, yang berfungsi sebagai sarana refleksi bagi tim untuk melihat kembali setiap aspek dari pekerjaan yang telah dilakukan. Dalam retrospektif, tim dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan mereka, serta mencari peluang dan ancaman yang mungkin muncul dalam pengembangan proyek. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan proses kerja tim di masa mendatang.

Namun, banyak tim yang tidak meluangkan waktu untuk retrospektif ini karena mereka menganggapnya sebagai pemborosan waktu yang lebih baik digunakan untuk sprint pengembangan berikutnya. Mereka gagal menyadari bahwa dalam perjalanan panjang menuju kesuksesan, perbaikan kecil yang dilakukan di setiap sprint dapat menentukan apakah proyek akan berhasil atau gagal. Tim Agile yang sejati tidak hanya melaksanakan retrospektif sebagai prosedur, tetapi juga menganggapnya sebagai kesempatan berharga untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses kerja mereka.

Tim yang Fragile dan Mengabaikan Retrospektif

Di sisi lain, tim yang rapuh (fragile) seringkali hanya melaksanakan sesi pembelajaran dari pengalaman (lessons learned) demi mengikuti pedoman Agile yang mereka baca, tanpa benar-benar menghayati nilai yang terkandung di dalamnya. Retrospektif mereka dipandang sebagai kewajiban semata, bukan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Sering kali, sesi ini berakhir dengan saling menyalahkan antara anggota tim, yang berusaha mencari kambing hitam atas kegagalan sprint, bukannya menganalisis kesalahan dan mencari solusi.

Dalam tim yang rapuh, retrospektif tidak pernah diterapkan dengan sungguh-sungguh, dan hasilnya jarang diterjemahkan menjadi tindakan konkret. Ini menciptakan lingkungan di mana perbaikan terus-menerus gagal tercapai, dan tim tetap terjebak dalam pola yang sama, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan tantangan baru.

Perbedaan Fundamental Antara Tim Agile dan Fragile

Perbedaan antara tim Agile dan Fragile terletak pada bagaimana mereka menyikapi retrospektif dan perbaikan berkelanjutan. Tim Agile melakukan evaluasi secara rutin terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman mereka, dan berdasarkan hasil tersebut, mereka mengambil tindakan untuk meningkatkan proses kerja. Setiap anggota tim memiliki fokus yang jelas untuk meningkatkan kinerja mereka dalam setiap sprint, rilis, dan proyek.

Sebaliknya, tim fragile tidak mengambil retrospektif dengan serius, dan proses yang ada tidak dioptimalkan dengan tujuan yang jelas. Mereka seringkali hanya melakukan retrospektif demi menjalankan prosedur, dan hasilnya tidak diimplementasikan secara efektif. Dalam beberapa kasus, tim ini bahkan tidak melakukan pembelajaran dari pengalaman atau tidak bertindak berdasarkan hasil evaluasi yang mereka lakukan.

Agile yang Dimodifikasi: Model Hibrida Scr-Agile-Fall

Beberapa tim mencoba mengadaptasi Agile untuk memenuhi kebutuhan organisasi mereka dengan mengembangkan model hibrida yang memadukan metode Waterfall dan Agile, seperti yang terjadi pada model Scr-Agile-Fall. Dalam model ini, cerita pengguna diprioritaskan dalam backlog dan disiapkan untuk rilis kumulatif pada tanggal tertentu, alih-alih dirilis satu per satu. Sprint digunakan pada fase desain, pengkodean, dan pengujian unit, namun pengujian sistem terintegrasi dilakukan sebelum fitur yang telah selesai dirilis. Meskipun ini mencampurkan prinsip-prinsip Agile dan Waterfall, tim yang mengadopsinya seringkali gagal memahami bahwa masalahnya bukan pada metodologi yang mereka pilih, melainkan pada kurangnya disiplin dalam menjalankan prinsip-prinsip Agile itu sendiri.

Kesimpulan

Agile adalah metodologi yang sangat bergantung pada retrospektif dan perbaikan berkelanjutan. Tim yang mengadopsi Agile dengan sungguh-sungguh akan senantiasa melakukan evaluasi terhadap proses dan kinerja mereka, berfokus pada peningkatan di setiap langkah. Sebaliknya, tim yang rapuh (fragile) gagal memanfaatkan retrospektif sebagai alat perbaikan, menganggapnya hanya sebagai prosedur wajib tanpa dampak nyata.

Penting bagi tim untuk tidak hanya mengadopsi metodologi Agile, tetapi juga memahami dan menerapkan prinsip-prinsipnya dengan disiplin yang tinggi. Tanpa itu, meskipun menggunakan Agile atau bahkan model hibrida, tim bisa tetap terjebak dalam pola kerja yang tidak efisien dan hasil yang tidak konsisten. Dengan melaksanakan retrospektif secara serius dan bertindak berdasarkan hasilnya, tim dapat memastikan bahwa mereka terus berkembang dan meningkatkan efektivitas mereka dalam setiap proyek.

Referensi

  1. Admin. (8 April 2013). Agile vs Fragile: Restropective Look Forward. Diakses dari https://www.northwaysolutions.com/agile-vs-fragile-retrospective-look-forward/
  2. Cunningham, W. (2001). Manifesto for Agile Software Development. Diakses dari https://agilemanifesto.org/
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Suparjo
Suparjo
Data Science Enthusiasm, Founder of KEBUN (Kelas Edukasi Berbagi Untuk Negeri), Independent English Teacher.
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi