Pendahuluan
Keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) merupakan bentuk pembelajaran yang menuntut proses kognitif yang lebih kompleks serta memberikan dampak yang lebih luas dibandingkan keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS). Melalui Taksonomi Bloom, proses kognitif dijelaskan secara bertahap mulai dari tingkat berpikir rendah hingga berpikir tinggi, sehingga dapat dijadikan rujukan dalam menciptakan peluang pembelajaran yang menantang bagi peserta didik di setiap tingkat.
HOTS menuntut peserta didik untuk berpikir secara lebih mendalam dan kompleks. Peserta didik dengan kemampuan tinggi umumnya dapat menyelesaikan tugas-tugas pada tingkat berpikir rendah dengan cepat, sehingga mereka membutuhkan aktivitas yang merangsang pemikiran kritis dan mendalam terhadap suatu topik. Oleh karena itu, perencanaan pembelajaran yang memuat tugas atau pertanyaan berbasis keterampilan berpikir tingkat tinggi menjadi strategi efektif untuk memastikan seluruh peserta didik memperoleh kesempatan berpikir kritis, sekaligus menjaga keterlibatan dan motivasi belajar peserta didik berpotensi tinggi.
Versi revisi dari taksonomi Bloom mengklasifikasikan tujuan pembelajaran ke dalam ranah berpikir tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Proses pembelajaran pada tingkat tinggi tetap bertumpu pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan dasar di tingkat sebelumnya. Dalam konteks ini, keterampilan berpikir tingkat tinggi sering diidentikkan dengan berpikir kritis dan berpikir kreatif, yang keduanya menjadi fondasi penting dalam membangun kapasitas intelektual peserta didik di era modern.
Sejarah munculnya HOTS
Dewasa ini, berbagai studi menunjukkan bahwa menghadapi tantangan dan dinamika abad modern tidak cukup hanya mengandalkan pengetahuan konseptual, melainkan juga memerlukan keterampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan serta kemampuan berpikir yang lebih kompleks. Sejalan dengan itu, Partnership for 21st Century Skills (P21, 2002) merumuskan sejumlah keterampilan yang dikenal sebagai kecakapan abad ke-21 (21st Century Skills).
Beberapa keterampilan utama yang tercakup dalam kecakapan abad ke-21 antara lain kreativitas, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Kompetensi tersebut sering dipandang sebagai bagian dari keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS). Tuntutan akan penguasaan keterampilan tersebut berdampak langsung pada kebutuhan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan biasanya ditandai dengan adanya reformasi kurikulum, termasuk dalam mata pelajaran matematika. Misalnya, di Amerika Serikat kurikulum sekolah menengah telah secara eksplisit mencantumkan pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi sebagai komponen penting kurikulum (NCTM, 2000). Demikian pula di Finlandia, keterampilan berpikir tingkat tinggi ditempatkan sebagai bagian penting dari kurikulum sekolah menengah melalui mata pelajaran “keterampilan berpikir dan metode berpikir” (thinking skills and methods) (Finnish National Board of Education, 2003).
Di Indonesia, orientasi kurikulum yang menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir, khususnya HOTS, mulai diwujudkan melalui implementasi Kurikulum 2013. Dengan demikian, penguasaan HOTS diposisikan sebagai tujuan utama dalam proses pembelajaran.
Konsep HOTS sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin S. Bloom bersama timnya dalam buku Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (1956). Melalui taksonomi tersebut, tingkatan berpikir diklasifikasikan mulai dari yang paling sederhana hingga kompleks. Dari sinilah berkembang berbagai model penilaian yang tidak hanya menilai pengetahuan faktual, tetapi juga mencakup dimensi pemikiran yang lebih tinggi.
Pengertian HOTS
Kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) merupakan proses berpikir yang menuntut peserta didik untuk memanipulasi informasi dan ide dengan cara tertentu sehingga menghasilkan pemahaman serta implikasi baru. HOTS tidak lagi sekadar menekankan kemampuan menghafal secara verbalistik, melainkan mengajak mahasiswa untuk memaknai hakikat dari pengetahuan yang diperoleh. Proses tersebut menuntut keterpaduan antara analisis, sintesis, asosiasi, hingga penarikan kesimpulan yang pada akhirnya mendorong lahirnya ide-ide kreatif dan produktif.
Para ahli memberikan definisi HOTS melalui pendekatan dan sudut pandang yang beragam. Menurut Resnick (1987), HOTS memang sulit untuk dirumuskan secara definitif, namun dapat dikenali melalui karakteristiknya. Beberapa ciri yang dikemukakan Resnick antara lain:
- Bersifat non-algoritmik, artinya langkah-langkah penyelesaian tidak dapat ditentukan sepenuhnya sejak awal.
- Kompleks, karena solusi tidak langsung terlihat atau dapat ditebak dari satu sudut pandang tertentu.
- Menghasilkan banyak solusi, bukan hanya satu jawaban tunggal.
- Melibatkan perbedaan pendapat dan interpretasi.
- Menerapkan berbagai kriteria dalam proses berpikir.
- Mencakup unsur ketidakpastian.
- Menuntut kemandirian dalam berpikir.
- Memiliki makna yang mendalam dan berkesan.
- Memerlukan usaha yang sungguh-sungguh (effortful).
Ciri-ciri tersebut dapat diamati dalam aktivitas pembelajaran yang mendorong keterlibatan mahasiswa pada berbagai tingkatan proses berpikir.
Lebih lanjut, Thomas & Thorne (2009) menjelaskan bahwa berpikir tingkat tinggi melampaui sekadar mengingat fakta atau mengulang kembali informasi. HOTS menuntut peserta didik untuk melakukan sesuatu terhadap fakta, seperti memahami, menyimpulkan, menghubungkan dengan konsep lain, mengkategorikan, memanipulasi, menata ulang dalam bentuk baru, serta menggunakannya untuk menemukan solusi dari permasalahan.
Sejalan dengan itu, Lewis & Smith (1993) menegaskan bahwa berpikir tingkat tinggi terjadi ketika seseorang memperoleh informasi baru, menyimpannya dalam memori, lalu mengaitkan, menata ulang, serta memperluas informasi tersebut untuk mencapai tujuan tertentu atau menemukan kemungkinan jawaban dalam situasi yang membingungkan.
Dari pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa HOTS merupakan proses berpikir yang lebih kompleks, yang tidak hanya berfokus pada penguasaan fakta, melainkan juga pada kemampuan untuk mengolah, menghubungkan, dan menerapkannya dalam menghadapi permasalahan nyata.
… Bersambung ke Bagian 2 …