Thinking, Fast and Slow – Bagian 2

Reading Time: 4 minutes

Namun, apapun jenisnya, baik fast dan slow thinking, banyak orang terjebak dalam cognitive bias dan thinking error.

Cognitive bias yaitu semacam bias atau prasangka dan persepsi yang salah, dalam benak kita. Bias ini akan melahirkan thinking error dan membuat pengambilan keputusan kita tidak optimal. Proses berpikir dan analisis menjadi tidak obyektif, dan terjebak dalam thinking error. Hasil pengambilan keputusan menjadi tidak akurat dan tidak optimal.

Loss Aversion Error  adalah jenis bias yang membuat seseorang terlalu takut dengan potensi kerugian yang akan terjadi. Bias ini membuat seseorang menjadi terlalu takut mengambil risiko; dan akhirnya malah tidak melakukan apa-apa.

Availability Bias adalah jenis bias yang membuat seseorang mengambil kesimpulan hanya dari fakta dan data yang tersedia di sekitarnya saja (available data).

Contoh availability bias : seseorang selalu terpapar berita negatif pada media online sebab konten negatif yang sering muncul di layar HP nya. Hal ini memang sesuai prinsip media online : bad news is good news. Ia lalu berkesimpulan dunia ini makin kelam dan buruk. Kenapa? Sebab yang tersedia di depannya adalah selalu konten negatif saja.

Availability bias membuat seseorang mengambil kesimpulan yang salah semata karena data yang tersedia di depan matanya sangat terbatas; dan tidak mewakili semua realitas. Availability bias ini sering terjadi di sekitar kita. Banyak orang terjebak bias ini.

Representative bias. Bias ini mirip availability bias. Seseorang langsung mengambil kesimpulan hanya berdasar data terbatas, dan sama sekali tidak representatif (tidak mewakili semua populasi).

Contoh : seseorang bilang, nahwa merokok itu tidak bahaya mas, buktinya paman saya merokok dan masih sehat padahal usia sudah 65 tahun. Dia terjebak representative bias. Mengambil kesimpulan hanya berdasar pengalaman satu kasus. Padahal data yang valid menunjukkan jutaan orang lain terbukti mati dalam usia dini karena kebiasaan merokok.

Representative bias terlalu sering kita jumpai. Banyak orang yang dengan mudah mengambil kesimpulan dengan yakin, padahal datanya hanya berdasar pengalaman dia yang sangat subyektif; dan sama sekali tidak wakili semua populasi dan realitas. Bias ini membuat seseorang menjadi salah dalam mengambil kesimpulan; dan akhirnya juga membuat keputusan yang juga salah.

Jenis bias lain yang diulas dalam buku tersebut adalah Illusion of Understanding. Bias ini intinya sama dengan pepatah yang isinya : tong kosong nyaring bunyinya. Fenomena itu disebut juga dengan nama Dunning-Kruger Effect. Yakni : orang yang ilmunya masih dangkal, justru biasanya makin nyaring bunyinya dan sok yakin dengan opininya.

Dalam studi tentang komen-komen di media sosial terungkap fenomena Dunning- Kruger Effect ini. Orang yang ilmunya dangkal justru merasa paling benar. Kenapa? Sebab orang ini tidak pernah baca jurnal dan buku; dan tidak tahu bahwa ada banyak kompleksitas dalam topik yang dia komentari. Namun justru karena ketidaktahuan ini; ia merasa pendapatnya paling benar. Makin tidak tahu, makin merasa benar pendapat dirinya.

Illusion of understanding 

Ilusi bahwa dirinya merasa paling tahu atau sudah sangat paham dengan sesuatu; bisa membuat seseorang terjebak dalam analisis dan pengambilan keputusan yang fatal. Sebab ternyata apa yang dia tahu itu baru secuil dari keseluruhan masalah. Otomatis, hasil analisisnya akan menghasilkan keputusan yang sama sekali tidak komprehensif, dan niscaya akan gagal menjadi solusi.

Sunk Cost Fallacy

Bias ini terjadi saat seseorang merasa terlalu sayang menghentikan usahanya (atau investasi), karena merasa sudah terlanjur basah — meski usaha ini terbukti kurang menguntungkan. Contoh : seseorang melakukan investasi tertentu. Meski ternyata investasi ini kurang menguntungkan, bahkan berpotensi menimbulkan kerugian besar, namun orang ini tetap melanjutkan prosesnya. 

Ia merasa sudah telanjur mengeluarkan banyak uang untuk investasi awal usahanya ini. Rasa sayang karena sudah telanjur basah ini membuat dia enggan menghentikan usahanya secara total (meski sudah terbukti merugikan).

Contoh lain sunk cost fallacy :

  • Beli saham dan harga anjlok jauh, namun tetap ditahan, karena merasa sayang.
  • Nonton film di bioskop, ternyata film-nya kurang bagus, tapi tetap ditonton sampai akhir karena merasa sayang sudah telanjur beli tiketnya.
  • Orang pacaran, ternyata pacarnya kurang asyik, namun tetap dilanjutkan, karena merasa sudah terlanjur mengeluarkan banyak waktu dan pikiran untuk membina hubungan.

Lalu, bagaimana caranya agar kita terhindar dari beragam cognitive bias dan thinking errors? Berikut sejumlah kiat praktikal untuk melakukannya.

Kiat 1 : Sadari bahwa cognitive bias itu eksis, dan kita rentan terjebak di dalamnya.

Menyadari kehadiran cognitive bias, akan membuat kita lebih humble (rendah hati) dan sekaligus waspada akan potensi bahayanya. Sikap semacam ini akan membuat kita lebih bisa mengendalikan ancaman cognitive bias; daripada takabur merasa pikiran dan analisisnya yang paling benar.

Kiat 2 : Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan dan melakukan final judgement.

Saat melakukan analisis dan mau mengambil keputusan, jangan terburu-buru. Lakukan analisis secara mendalam, perlahan, dan juga jalani cost and benefit analysis. Apa untung rugi dari beragam opsi keputusan yang mau diambil. Lakukan perbandingan, dan pilih yang terbaik.

Kiat 3 : Minta advis dan pertimbangan dari orang lain yang lebih ahli atau punya pengalaman panjang.

Jika diperlukan, minta advis atau pertimbangan dari orang lain yang dianggap lebih ahli dan berpengalaman. Masukan orang ini akan memberikan insight berharga sehingga kita bisa lebih optimal dalam mengambil keputusan krusial.

Kiat 4 : Tunjuk Devil’s Advocate – atau pihak yang memang diminta untuk mengkritisi setiap keputusan yang akan diambil.

Devil’s advocate adalah sebutan bagi seseorang atau tim yang memang ditunjuk untuk mengkritisi atau memberikan argumen yang bertentangan dengan opsi keputusan yang akan diambil. Tujuannya adalah agar keputusan itu benar-benar teruji akurasi dan kualitasnya.

Devil’s advocate berlawanan dengan Yes Man (atau orang yang selalu bilang yes pada setiap keputusan yang akan diambil bos atau direksi). Devil’s advocate justru mencoba mengkritisi dan melihat potensi kerugian dari keputusan yang akan diambil. Sekali lagi, tujuannya agar keputusan menjadi lebih matang.

— Bersambung ke Bagian 3 —

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dani Pradana
Dani Pradana
Senior Project Manager, Senior Lecturer. Alumni of Universitas Indonesia and Institut Teknologi Bandung
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi