Pada dekade 60-an Prof. Skinner dari Harvard College mengungkapkan keprihatinannya terhadap kecenderungan manajemen puncak yang mengesampingkan masalah-masalah operasional dalam perencanaan strategi bisnis maupun pengambilan keputusan operasional. Melalui artikel legendarisnya yang berjudul “Manufacturing Missing Link in Corporate Strategy, mengemukakan fenomena bahwa kegiatan manufacturing hanya didominasi oleh para spesialis industrial engineer dan ahli teknologi informasi. Melalui tulisan tersebut, Skinner (1969) mengajukan usulannya agar manajemen puncak secara sistematik mengaitkan strategi operasional (manufacturing strategy) dan strategi perusahaan.
Beberapa tahun setelah itu, dunia bisnis diramaikan oleh jargon baru yaitu benchmarking. Apalagi setelah keberhasilan benchmarking yang dilakukan Xerox (1979) dalam mengembangkan mesin foto copy. Saat Xerox menyadari bahwa biaya produknya melebihi harga produk, sehingga merasa perlu melakukan benchmark terhadap pesaing untuk memperkuat eksistensinya.
Benchmarking merupakan suatu proses pengukuran kinerja secara terus menerus atas produk, jasa, dan tata cara kita terhadap pesaing yang terkuat dan terbaik (David Keam – CEO Xerox, dikutip dari Sujono – 1994). Dalam melakukan benchmarking, Xerox sangat menekankan pada kinerja operasionalnya untuk meraih keunggulan bersaing. Manajemen puncak Xerox memiliki keyakinan bahwa strategi memenangkan persaingan sangat terkait dengan operational excellence.
Pada dasawarsa 80-an (1988), Jack Welch, CEO General Electric mengerahkan staf pengembangan bisnisnya untuk mempelajari pengalaman sukses perusahaan-perusahaan papan atas dunia dengan tujuan mengetahui kunci sukses prestasi perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan sukses di dunia memiliki ciri-ciri dan perilaku, antara lain :
- Berhasil mengelola proses bukan mengelola orang-orang.
- Menelusuri bagaimana menghasilkan produk, bukan berapa jumlah yang dihasilkan.
- Menekankan pada continuous improvement dan kepuasan pelanggan.
- Meningkatkan produktivitas, dan memperkenalkan produk baru berkualitas tinggi secara kontinyu.
Benchmarking adalah suatu alat manajemen yang dipakai sebagai alat untuk menganalisa apa, mengapa, dan seberapa besar kehebatan pesaing dalam melakukan tata cara bisnisnya dengan fokus memberikan kepuasan pada pelanggan. Benchmarking tidak hanya membandingkan hasil akhir, tetapi lebih menganalisis apa yang dapat dilakukan perusahaan, dan dengan cara bagaimana perusahaan lain melakukan sesuatu yang lebih baik.
Melalui benchmarking, diharapkan bisa mengetahui :
- Seberapa jauh kinerja yang telah dicapai.
- Bagaimana membawa perusahaan menjadi world leader.
- Apa sasaran strategis yang tepat.
- Bagaimana cara proses kerja yang baik
Melalui benchmarking, menurut Tatterson (1996) perusahaan memiliki tujuan dan memiliki manfaat strategis, antara lain :
- Menetapkan nilai-nilai, visi, dan misi perusahaan.
- Mewujudkan sasaran-sasaran umum untuk mencapai tujuan perusahaan.
- Membantu meningkatkan kepekaan perusahaan terhadap perubahan lingkungan bisnis.
- Membuka mata dalam melihat fakta bahwa perusahaan lain memiliki tingkat kinerja yang lebih baik, sehingga perusahaan menjadi lebih terpacu.
- Memberikan dukungan yang positif pada perusahaan untuk melakukan continuous improvement.
Pendekatan yang dilakukan perusahaan dalam melaksanakan benchmarking, antara lain :
- Benchmarking internal, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan fungsi-fungsi lainnya dalam suatu organisasi.
- Benchmarking kompetitif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan pesaing untuk produk atau proses tertentu.
- Benchmarking fungsional, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan fungsi yang sama terhadap organisasi lain pada industri yang sama.
- Benchmarking generik, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan organisasi lain di industri yang berbeda.
- Benchmarking kolaboratif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan data statistik antar perusahaan.
- Shadow benchmarking, yaitu melakukan penetrasi pasar baru yang memiliki pesaing-pesaing tangguh.
- World class benchmarking, dilakukan dengan membandingkan perusahaan satu dengan yang lain secara luas tidak peduli industrinya sama atau tidak.
Beberapa cara dalam melakukan benchmarking, antara lain (Zairy, 1996) :
- Riset in house, dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap informasi dari dalam perusahaan sendiri maupun dari publik. Hal ini biasanya terjadi jika perusahaan hanya mencari informasi tentang hasil kinerja, fungsi, atau proses bisnis perusahaan.
- Riset pihak ketiga. Ada beberapa perusahaan peneliti yang bersedia melakukan kegiatan benchmarking dengan biaya ditanggung oleh perusahaan yang melakukan benchmarking.
- Pertukaran informasi secara langsung, dilakukan melalui kuesioner, survey, atau kunjungan langsung.
- Kunjungan langsung, yaitu dengan melakukan kunjungan ke lokasi mitra benchmarking. Dengan kunjungan langsung, memungkinakan perusahaan untuk melakukan wawancara, tukar menukar informasi, dan melihat secara langsung kenyataan yang terjadi di perusahaan mitra benchmarking.
Kesimpulan :
- Benchmarking akan sangat efektif jika dilaksanakan oleh suatu tim yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perubahan dan akan sangat menguntungkan jika dilakukan dengan mitra yang tahu betul mengenai maksud dan tujuannya.
- Manfaat mitra benchmarking adalah bisa mengembangkan perusahaan secara profesional dengan adanya saling tukar menukar informasi.
- Benchmarking selalu mengikuti perkembangan zaman, karena data yang digunakan untuk analisis adalah data yang up to date.
Referensi :
[1] Ellitan, Lina, dan Lina Anatan, Manajemen Inovasi – Transformasi Menuju Organisasi Kelas Dunia, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2009.
[2] Fahmi, Irham, Manajemen – Teori, Kasus, dan Solusi, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2014.
[3] Project Management Institute, A Guide to the Project Management Body of Knowledge 7th Edition, Project Management Institute, Inc. Pennsylvania, 2021.