Membaca berita mengenai pengangkatan direksi Pertamina dengan tagline lebih agile, fokus, dan cepat, menggoda penulis untuk kembali mengulas kebijakan-kebijakan pemerintah dari kacamata agile.
Pertama kita angkat dulu dua perubahan signifikan pasca pengangkatan direksi Pertamina yang baru:
- Pemangkasan jumlah direktur yang sebelumnya ada 11 menjadi 6 direktur
- Pembentukan sub-holding di bawah komando PT Pertamina (Persero)
Latar Belakang
Berikutnya, kita buka kembali kamus untuk memahami arti dari agile itu sendiri, yaitu tangkas, lincah, gesit, dan lain-lain. Sehingga tujuan dari dua hal di atas adalah Pertamina ingin organisasinya menjadi lebih lincah. Penulis melihat keinginan untuk menjadi agile ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, baik perkembangan bisnis migas maupun tren yang terjadi belakangan ini.
Penulis akan mulai analisa dari unsur tren dulu. Sejak setidaknya 2-3 tahun terakhir ini kata agile sudah menjadi topik pembicaraan yang hangat, sehingga masuk akal sekali apabila Pertamina juga ingin menjadi agile.
Agile yang lahir dari dunia IT, sudah merambah ke dunia non-IT, dan Shell merupakan salah satu perusahaan migas yang bertransformasi menjadi agile, dan masih banyak lagi kisah sukses perusahaan-perusahaan besar dunia menjadi agile, yaitu menjadi gesit.
KPMG pun sudah mengungkapkan dalam Global CEO Outlook 2019 bahwa sebagian besar CEO dunia sudah menganggap bahwa kunci agar bisa bertahan di dunia yang cepat perubahannya, ada di agility, yaitu kegesitan dari suatu organisasi. Dan ditegaskan oleh KPMG dengan tagline “Agile or irrelevant.” Sehingga, keputusan Pertamina untuk menjadi agile tentu sangat tepat sekali.
Berikutnya, dari unsur bisnis migas. Penulis bukanlah pakar migas sehingga analisa penulis lebih bersifat common-sense. Kita bisa merasakan dan melihat sendiri menukiknya harga migas beberapa tahun belakangan dan diperparah oleh pandemi COVID-19 yang membuat banyak masyarakat dunia mulai lebih memikirkan kelestarian alam dan bergesernya perilaku konsumen untuk menggunakan listrik. Industri ini memang berjalan perlahan tapi sudah menunjukkan beberapa indikator-indikator kebehasilan, mulai maraknya mobil listrik yang dipelopori keberhasilan komersilnya oleh Tesla.
Cara Pertamina Menjadi Agile
Pertamina saat ini sudah harus mulai “pivot” dalam bisnisnya dan harus lebih membuat percepatan dari sisi inovasi di energi terbarukan. Kedua hal di atas menurut hemat penulis yang mendesak Pertamina untuk menjadi agile, dan penulis akan mengulas seperti apa agile yang diharapkan terjadi di tubuh BUMN terbesar di republik ini.
- Pemangkasan Jumlah Direktur
Hampir setengah jumlah direktur dipangkas, memang terdengar kejam tapi marilah kita pelajari tujuan secara agile-nya. Agar organisasi bisacbergerak cepat, tentu kuncinya ada di kecepatan dalam pengambilan keputusan.
Dengan dikuranginya jumlah direktur tentu berarti berkurangnya jumlah approver dalam pembuatan keputusan maupun kebijakan, dan juga kepenting politis para direktur-direktur. Dan tepat di sinilah agility akan terjadi. Tapi apakah ini cukup?
Penulis dengan tegas mengatakan, tidak cukup. Karena walau jumlah direktur dipangkas, sebenarnya masih belum cukup untuk menjadi agile, agility membutuhkan organisasi yang tidak terlalu mengutamakan hierarchy atau flat-organization.
- Pembentukan sub-holding
Mengutip pernyataan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, “Lini-lini bisnis Pertamina ini yang sangat luas ini dari mulai hulu ke hilir, kita melihat semuanya ini sudah profitable, sudah dewasa. Nah sudah saatnya ini di spin-off, diperkuat, diberikan keleluasaan, flexibility, kemandirian untuk berkembang. Dibentuklah sub-holding,”
Pembentukan sub-holding ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan, kalau mengacu ke prinsip agile disebut dengan istilah team-empowerement. Tentu ini juga berhubungan erat dengan decision making, di mana anak-anak perusahaan Pertamina yang memang sudah mandiri, diberikan kepercayaan dalam bentuk keleluasaan dalam beroperasinya, tanpa harus selalu berkoordinasi dengan induk perusahaan.
Tapi, arti dari team-empowerement ini tidak berhenti di situ. Arah dari pembentukan sub-holding ini adalah memberikan keleluasaan bagi anak perusahaan juga dalam melakukan berkreasi dan inovasi, sehingga tepat sekali sasarannya adalah lini-lini bisnis Pertamina yang membentang dari hulu ke hilir supaya lebih efisien diberikanlah mereka ruang gerak agar bisa fokus untuk “jalan sendiri”.
Tentu, harapan jangka panjangnya dalam menerapkan agile melalui pembentukan sub-holding berhubungan erat dengan kondisi industri migas sendiri yang cenderung stabil puluhan tahun belakangan dan sekarang mendapat tantangan terbesar untuk melakukan pivot dalam berbisnisnya agar tetap tumbuh. Apakah ini akan membuat Pertamina benar-benar menjadi gesit? Hanya waktu yang akan membuktikan.
Namun, penulis sekedar mengingatkan, konsep agile di atas baru setengahnya saja, karena setengah lainnya berhubungan dengan kultur perusahaan, yaitu transparansi dan kemampuan beradaptasi menyesuaikan terhadap perubahan (inspect dan adapt).
Good luck Pertamina on your agile journey!