Agile dan HSE

Reading Time: 3 minutes

Agile yang merupakan pendekatan kerja yang gesit dan lahir dari dunia pengembangan perangkat lunak (software development) ternyata ampuh dalam menjawab tantangan usaha dan bisnis di era yang serba tidak pasti ini atau sering disebut sebagai VUCA (Volatility Uncertainty Complexity Ambiguity).

Sayangnya, kegesitan agile ini banyak dikaitkkan kecuekan terhadap aturan dalam bekerja. Sehingga di dunia IT sendiri dikenal dengan istilah “cowboy coding“, di mana pengembang software bekerja cenderung seenaknya tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pemrogram apalagi membuat dokumen pendukung terkait software yang dikembangkan.

Berdasarkan hasil survey dari TrustRadius (https://www.trustradius.com/buyer-blog/annoying-business-buzzwords), bahkan agile termasuk menjadi salah satu buzzword yang dibenci dan berada di urutan 15 pada tahun 2021, atau turun 3 peringkat sejak tahun 2020.

Niat baik dari para penggagas Manifesto for Agile Software Development tidak mungkin  bertujuan membuat dunia bisnis semakin rumit hidupnya, tentu niatnya adalah membuat pekerjaan menjadi lebih baik dan terutama gesit.

 

Salah Kaprah Agile

Ada 2 nilai agile yang sering disalahgunakan atau mungkin lebih tepatnya disalahpahami:

  • Individuals and interactions over processes and tools“, yang dimaksud dari nilai pertama agile ini adalah agar kerjanya gesit, tim agile mengutamakan interaksi dalam bekerja daripada processes and tools.

Apabila kita kurang mendalami maksud dari nilai pertama ini, maka dengan mudahnya bisa kita simpulkan bahwa tim agile ketika bekerja tidak memperhatikan proses dan juga tidak menggunakan tools (alat bantu). Tentu pengertian seperti itu sangat fatal dan berbahaya sekali. Kenapa disebut fatal? Karena bekerja tanpa proses akan mengancam keberhasilan pekerjaan itu sendiri, misalnya memberi dampak tidak adanya standarisasi kualitas dari suatu hasil pekerjaan, timbul fenomena “cowboy coding” di mana-mana, dan apabila tidak dihentikan akan menimbukan keruwetan luar biasa dalam suatu organisasi.

  • Working software over comprehensive documentation“, di mana pengertiannya adalah agar menjadi gesit cara kerja agile adalah mengutamakan hasil kerja ketimbang dokumentasi. Nah, dokumentasi di sini lah yang sering disalahpahmi bahwa kerja agile berarti tanpa Tentu ini tidak benar sama sekali, bekerja secara agile tentu akan menghasilkan deliverable berupa dokumen.

Yang ditegaskan dari kalimat tersebut adalah agar bisa gesit yang ingin dikurangi adalah dokumen yang berlebihan, misalnya template dokumen yang ribet untuk dirubah-rubah, dokumen yang tidak memberi value (manfaat) karena redundan antara satu dokumen dengan dokumen lainnya, begitu juga dokumen yang tidak pernah dibaca oleh orang lain.

Oleh karena itu kedua nilai di atas harus dipahami dengan baik dulu oleh tim agile sebelum akan menerapkannya di berbagai macam industri, baik itu IT, telekomunikasi, jasa keuangan, migas, tambang, dan lain-lain.

 

Agile dalam Kondisi Darurat

Hal terpenting dalam penerapan agile adalah walau semangat agile sudah tumbuh, pemahamannya sudah bagus, namun pada akhirnya yang akan mengerjakan itu semua adalah manusia. Oleh karena itu Agile Way of Working-nya sendiri harus dikuasai oleh setiap anggota dari tim agile.

Walau agile terlahir dari dunia IT, cara bekerjanya sangat mirip sekali dan identik dengan saat menghadapi kondisi darurat, misalnya darurat keselamatan. Salah satu prinsip dari agile adalah membentuk tim yang self-organizing, yaitu tim yang bisa mengatur kerjanya sendiri tanpa menunggu perintah atau komando. Tim tersebut bekerja sama seperti layaknya bergotong royong untuk mencapai tujuan tim, bukan tujuan individu. Apabila tim agile diberikan target atau misi bersama maka dengan sendirinya mereka akan menentukan bagaimana misi bersama itu bisa dicapai oleh tim secara bersama-sama juga.

Kejadian seperti darurat keselamatan adalah contoh ideal dalam membuktikan bahwa agile sangat dapat diterapkan di dunia HSE (Health, Safety and Environment). Ketika alarm tanda bahaya berbunyi, maka seluruh orang yang berada di lokasi yang terancam akan secara bersama-sama saling membantu dalam menyelamatkan jiwa.

Yang menarik, unsur hirarki dalam perusahaan akan luntur. Sebagai contoh, seorang CEO akan menganggap stafnya sebagai teman karena merasakan ancaman terhadap nyawanya secara bersama-sama (empati). Rasa kebersamaan akan muncul, komunikasi akan sangat cair dan tidak ada lagi garis struktur organisasi yang membentengi atasan dan bawahan. Semua sama-sama ingin selamat, semua sama-sama merasakan penderitaan.

Dalam film Sully yang bercerita mengenai keberhasilan seorang pilot bernama Chesley “Sully” Sullenberger yang diakui kehebatannya oleh National Transportation Safety Board (NTSB) yang sebelumnya rajin mencecar Sully karena dianggap salah dalam membuat keputusan untuk mendarat secara darurat di tengah-tengah sungai Hudson di negara bagian New York, Amerika Serikat. Sully mengatakan hal yang sangat menginspirasi:

“I disagree. It wasn’t just me, it was all of us. Jeff, Donna, Sheila, Doreen. The passengers, rescue workers. Air traffic control, ferry boat crews and scuba cops. We all did it. We survived.”

Perkataan Sully sangat bermuatan Agile Way of Working, yaitu walau beliau adalah pilot yang memimpin penerbangan tersebut, keberhasilan mendarat darurat tanpa korban jiwa itu bukanlah prestasi dia seorang, tapi prestasi semua orang. Keberhasilan beliau merupakan akumulasi keberhasilan dari orang-orang yang mendukung beliau, termasuk semua penumpang, hingga kru-kru yang menghampiri dan mengevakuasi seluruh penumpang.

Apa kesimpulan yang bisa kita tarik dari ini semua?

  • Agile merupakan pola pikir yang ingin gesit tapi tetap ada aturan-aturan yang menjaga itu semua agar kualitas bisa selalu baik, namun aturan-aturan harus lah memiliki arti dan manfaat agar bisa menbuat tim agile menjadi benar-benar gesit.
  • Tim agile bekerja secara self-organizing, di mana komunikasi menjadi cari, bekerja secara gotong royong secara bersama-sama, dan batasan-batasan hirarki diminimalisir.
  • Dan terakhir pelajaran berharga dari film Sully adalah selalu ada faktor X dalam keberhasilan itu, faktor X itu berasal dari semangat tim, pemikiran positif, dan insting seorang leader yang ingin timnya berhasil.
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Facebook Comment

Terbaru

Rekomendasi