Kita biasanya berani untuk pertama kali melakukan suatu hal yang benar-benar baru dalam hidup, bila sudah melihat contoh dari pengalaman orang lain, setidaknya itu yang saya rasakan, namun tidak semua hal saya bisa tiru dari orang lain.
Lahir sebagai anak pertama dalam keluarga, saya mengalami beberapa tantangan yang mungkin dialami oleh orang lain yang juga terlahir sebagai anak pertama, kami kesulitan dalam mencari role model. Ayah saya adalah seorang pekerja keras dan disiplin, dalam hal ini saya bisa mengamati dan belajar dari beliau.
Namun dalam bidang yang lain misalkan pendidikan, kedua orang tua saya hanya mendapatkan kesempatan untuk sekolah sampai tingkat SMA karena memang pada masa itu situasi yang membuat mereka sudah harus segera bekerja setelah lulus sekolah. Latar belakang itu yang membuat orang tua saya menginginkan agar semua anaknya bisa kuliah dan mendapatkan gelar sarjana.
Memasuki dunia kuliah, saya merasakan suasana yang sangat berbeda dengan dunia sekolah. Apakah dalam hal cara belajar dan mengajarnya, cara mengatur waktu dengan jam kuliah yang tidak tentu setiap harinya, tidak seperti saat di sekolah dimana jam belajar kita setiap harinya sudah pasti yaitu misal dari jam 7 pagi hingga jam 12 siang, setelah itu kita bisa melakukan hal lain apakah itu berolahraga atau sekedar bermain dengan teman-teman sekolah. Dan di masa kuliah inilah saya pertama kali benar-benar merasakan kebingungan dalam bersikap karena saya merasa tidak ada seseorang yang saya bisa jadikan role model dan bisa saya contoh tentang bagaimana menjalani masa kuliah dengan baik sehingga bisa berprestasi.
Semasa sekolah di SMP dan SMA prestasi saya cukup lumayan, saya bisa paling tidak berada di peringkat 5 besar dikelas, dan pelajaran favorit saya adalah Matematika dan Bahasa Inggris, karena di dua pelajaran ini saya hampir selalu bisa mendapatkan nilai bagus. Namun kebingungan saya ini yang akhirnya membuat saya kesulitan di masa kuliah dan akhirnya sekedar mendapatkan IPK 3.00 saja saya tidak berhasil.
Namun sepertinya memang Tuhan sudah punya rencananya sendiri, walau tidak sukses dalam hal akademik kuliah tapi saya dipertemukan dengan beberapa orang yang memiliki mentalitas berani dan terkadang nekat yang akhirnya mempengaruhi mindset saya. Satu pesan yang saya selalu ingat dari mereka adalah, “kalau kamu mau mendapatkan sesuatu, coba aja dulu. Kalau kamu berusaha dan akhirnya gagal paling tidak kamu punya peluang 50 persen untuk berhasil, dibandingkan kamu hanya diam dan tidak melakukan apa-apa sudah pasti peluang kamu berhasil itu 0 persen”.
Semangat ini yang akhirnya mengantarkan saya pada suatu momen yang saya anggap cukup nekat waktu itu, yaitu saat akan mengikuti ujian masuk Kemenkeu di Jakarta. Pada saat saya lulus kuliah sekitar tahun 2005, saat itu untuk bisa masuk perusahaan besar atau institusi pemerintahan semua mewajibkan syarat minimal IPK adalah 3.00, dan saat proses pendaftaran ujian Kemenkeu saya nekat menuliskan IPK saya 3.00 didalam form pendaftaran, dengan harapan paling tidak saya bisa ikut ujian TPA (Tes Potensi Akademik) dan mendapatkan hasil bagus, alasan saya percaya diri bisa dapat nilai bagus karena saya dengar soal dalam TPA itu yang dianggap sulit justru soal yang terkait Matematika dan Bahasa Inggris, yang justru menjadi materi favorit saya. Namun walau saya berhasil mendaftarkan diri, ternyata saya gagal di proses verifikasi dokumen setelah panitia menemukan IPK saya ternyata dibawah 3.00, saat itu bahkan saya melakukan hal yang saya pikir tidak akan pernah saya lakukan yaitu memohon kepada panitia untuk sekedar mendapatkan kesempatan ikut ujian TPA, namun mereka tetap menolak. Sedih dan juga marah karena saya merasa gagal mendapatkan IPK bagus saat kuliah hingga membuat saya ditolak masuk Kemenkeu, namun perasaan sedih itu tidak berlangsung lama karena saya merasa saya sudah berusaha melakukan sesuatu dan walaupun gagal tapi saya sudah berusaha untuk sekedar mendaftarkan diri ikut ujian masuk Kemenkeu.
Berani saja apa cukup?
Berdasarkan pengalaman yang saya ceritakan sebelumnya, sekedar berani saja tidak cukup. Kita juga harus mempersiapkan diri untuk selalu siap dalam kondisi apapun. Karena itu, selain kita punya sifat untuk berani mencoba ada baiknya kita juga selalu meningkatkan kemampuan diri kita sendiri, kita harus mau berinovasi pada kemampuan dan pola pikir kita. Sifat inovatif ini akan sering kita temukan pada seseorang yang memiliki growth mindset, karena mereka akan berpikir bahwa selalu ada ruang untuk perbaikan. Dalam buku Mindset: The New Psychology of Success yang ditulis oleh Carol Dweck dia mengatakan,
“Dalam growth mindset, tantangan itu menjadi suatu hal yang menarik, bukan sebuah ancaman”
Carol ingin menyampaikan bahwa dengan menerapkan pola pikir growth mindset kita akan terdorong untuk menjadi lebih berani dalam menghadapi situasi apapun, sehingga hal ini akan mendorong otak dan kemampuan kita untuk selalu berkembang dan melakukan inovasi-inovasi baru.
Ketakutan tidak akan membawa kita kemana-mana, benar bahwa selalu ada risiko saat kita memutuskan untuk melakukan hal baru, dan risiko akan kegagalan atau keterpurukan ini yang biasanya selalu mengikat kaki kita dengan rasa takut untuk melangkah dan mencoba hal baru dalam hidup. Mengalahkan rasa takut kita dan menjadi pribadi yang berani adalah suatu hal yang bisa memberikan keuntungan. Kita akan selalu mau mencoba hal baru dalam hidup, yang kemudian akan mendorong kita untuk belajar dan menjadi seseorang yang lebih baik.
Sebagai contoh saja, misalkan pada saat kita menjadi seorang mahasiswa ataupun karyawan, dan kita berada dalam situasi dimana ada kesempatan untuk mengambil tantangan yang diberikan oleh dosen atau atasan kita di kantor, sifat berani ini yang akan membuat kita mendapatkan kesempatan lebih dulu dibandingkan teman-teman kita lainnya yang mungkin selalu ragu dan memilih diam bersama kerumunan lainnya daripada harus mencoba tantangan baru. Keberanian diri dan juga motivasi untuk terus berinovasi, yang akhirnya akan menjadikan kita berbeda dibandingkan orang kebanyakan, meminjam istilah dari Dr. Indrawan Nugroho kita harus berusaha untuk “Rise above the crowd”.
Dan untuk saya pribadi, setelah menerapkan sikap berani mencoba dan terus berinovasi pada diri sendiri dengan terus belajar membawa saya pada posisi yang lebih baik saat ini. Saya mendapatkan kesempatan untuk memimpin team dan mengambil peran sebagai Country Manager dari sebuah perusahaan milik asing yang terdaftar di Silicon Valley, not bad lah untuk anak asli Indonesia lulusan S1 dengan IPK kurang dari 3.00.
Kesimpulan:
- Sifat berani mencoba dan menerima tantangan baru akan memberikan kita kesempatan untuk melakukan sesuatu hal yang membuat kita menjadi orang yang lebih baik
- Setelah kita diberikan kesempatan yang mungkin orang lain tidak bisa dapatkan, kita harus selalu bisa mengembangkan kemampuan kita agar bisa menyelesaikan tantangan yang diberikan kepada kita
- Sifat berani dan berinovasi akan membawa kita pada posisi yang lebih tinggi daripada orang kebanyakan, yang pada akhirnya akan membawa kita pada kondisi yang lebih baik, kondisi dimana kita bisa memberikan manfaat kepada orang banyak. Sesuai salah satu hadits yang mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad).
Referensi:
- Dweck, Carol S., Mindset-The New Psychology of Success, Random House, Inc., New York, 2006
- Dr. Indrawan Nugroho. 2021. “Bab Paling Penting – Time to Rise Above the Crowd | Final Chapter”. https://www.youtube.com/watch?v=6WTrNiSI-O8. Diakses pada 27 Maret 2022